Sebelum membuat tulisan ini, penulis baru saja membeli kopi. Tidak ada seduhan Mang-Mang Kopi atau Barista. Tidak pula penulis menyeduhnya sendiri. Alih-alih demikian, ia meletakkan gelas kertas di bawah sebuah mesin. Kemudian di mesin tersebut, ada tombol-tombol bertuliskan "Latie"; "Cappuccino"; serta "Vanilla".
Penulis kemudian memijit tombol Cappuccino. Tiba-tiba mesin berbunyi, gelas kertas lantas terisi air kurang dari semenit. Tada, jadilah cappucino, siap diminum segera (tentunya setelah dibayar)
Pengalaman penulis di atas ialah salah satu contoh penerapan otomatisasi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh serupa otomatisasi memiliki rentang dari yang sangat sehari-hari hingga pekerjaan-pekerjaanberat-- dari penggunaan vending machine; automatic teller machine (ATM); traktor yang menggantikan peran pembajak sawah; alat-alat perakit di pabrik; hingga masih banyak lagi.
Kehadiran otomatisasi, yang ditandai dari Revolusi Industri hingga berlanjut hingga kini, telah mengubah tatanan tenaga kerja. Di Amerika Serikat, kita akan menemui betapa sedikitnya orang yang bekerja di ranah pertanian. Bukan karena pertanian yang tidak lagi menarik. Namun, hal tersebut disebabkan sebagian dari proses pertanian telah terotomatisasi mesin.
David H. Autor; dalam paper-nya yang bertajuk “Why Are There Still Many Jobs? The History and Future of Workplace and Automation”-- mengatakan jika ketakutan manusia akan lenyapnya lapangan pekerjaan akibat otomatisasi terjadi secara periodik dalam dua abad terakhir.
Kemudian, Autor mengutip artikel TIME pada 24 Februari 1961. Intinya; artikel yang bertajuk “The Automation Jobless” mengungkapkan kekhawatiran berbagai pakar ketenagakerjaan mengenai dampak otomatisasi. Pada awalnya, otomatisasi yang terjadi di dunia perpabrikan-- malah menciptakan lapangan pekerjaan baru di ranah pekerjaan perkantoran. Namun otomatisasi pun terjadi di ranah perkantoran. Beberapa pekerjaan pun mulai tergerus dengan adanya otomatisasi.
Kekuatiran ini menguat ketika teknologi Artificial Intelligence (AI) mulai naik pamor. Menurut situs Encyclopedia Britannica, AI adalah kemampuan komputer digital atau robot yang dioperasikan sistem komputer, untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dengan tingkat kecerdesan tertentu.
Masih merujuk pada Encyclopedia Britannica, rupanya sudah lebih dari separuh abad AI terus-menerus berkembang. Situs tersebut mencatat, program AI yang paling awal berhasil dimunculkan dikembangkan oleh Christopher Strachey-- yang kemudian menjadi direktur Programming Research Group di University of Oxford pada tahun 1951. Ia berhasil menciptakan program AI yang memainkan permainan checkers (semacam permainan papan) dengan kecepatan yang masuk akal.
Teknologi AI pun terus berkembang hingga kini. Beberapa opsi penggunaan AI mutakhir pun mulai menyeruak. Beberapa di antaranya adalah asisten berbasis suara yang dapat menggantikan peran operator, chatbot yang dapat menggantikan peran admin penjualan, hingga pendiagnosa penyakit yang bahkan dapat menggantikan peran dokter (di ranah diagnosa).
Bahkan, dalam salah satu seminar yang diadakan oleh himpunan Mahasiswa Teknik Industri ITB, Industry 4.0 8 Januari 2018 lalu-- bisa terjadi landoff besar-besaran jika pabrik-pabrik di Indonesia akan mengotomatisasi pekerjaannya dengan AI. Hal ini tentu membuat para pekerja-- khususnya buruh ber-skill rendah, kelabakan. Namun, apakah benar jika AI “musuh”nya tenaga kerja?
Ekonom Massachussets Institute of Technology (MIT), Daron Acemoglu tidak sepenuhnya sepakat dengan asumsi tersebut. Dalam paper-nya, “Artificial Intelligence, Automation and Work”; Acemoglu justru menemukan apa yang ia sebut countervailling effect menanggapi AI yang mulai mengokupasi ranah-ranah pekerjaan manusia.
Asumsi yang terkandung dalam countervailling effect adalah, AI dapat meningkatkan permintaan tenaga kerja. Akan ada penciptaan tugas, fungsi dan aktivitas baru dimana tenaga kerja memiliki keunggulan komparatif relatif ke mesin. Penciptaan tugas baru menghasilkan pemulihan yang langsung menyeimbangkan perubahan. Manusia dan mesin pun berjalan beriringan.
Acemoglu mencatut contoh bagaimana otomatisasi justru malah semakin menambah tenaga kerja. Bessen (2016) mendokumentasikan bahwa bersamaan dengan penyebaran ATM yang cepat, ternyata tetap ada perluasan pekerjaan sebagai teller bank. bank pun terdorong untuk membuka lebih banyak cabang. Terbukalah kesempatan-kesempatan kerja di cabang-cabang baru tersebut yang tugasnya tidak dapat dilakukan oleh ATM.
David Autor; dalam lecturenya di TED Talks menyebutkan; pada tahun 1900-an; pekerjaan di pertanian mengambil jatah 40 persen dari jumlah keseluruhan ketenagakerjaan di Amerika Serikat. Kini, jumlah pekerja pertanian hanya 2 persen! Kemana sisanya?
Autor berpendapat, otomatisasi membuat manusia menjadi memiliki banyak waktu untuk menemukan produk baru, ide baru, dan pelayanan baru. Siapa yang menyangka di seratus tahun yang lalu bahwa ada pekerjaan semacam vlogger kuliner, app developer, social media strategist, atau instruktur yoga!
Namun yang menjadi tantangan bagi berbagai pihak-- seberapa mampu tenaga kerja-- secara individual dapat menyesuaikan keahlian mereka dalam menghadapi otomatisasi? Mau bersusah payah di awalkah perusahaan-- bahkan pemerintah-- untuk menyisihkan biaya pelatihan tenaga kerja agar memiliki skill yang melengkapi ‘robot‘ rekan kerja mereka?
Akankah penyeduh kopi kita, atau kasir (jika pembayaran di mesin kopi itu langsung terhubung pada bank) di kedai berganti profesi menjadi creative strategist-- atau user-experience manager?***